TRILOGI KEMERDEKAAN
REVIEW
Untuk pertama kalinya film drama
fiksi historis Indonesia dikemas dalam bentuk trilogi. Film yang berjudul Merah
Putih ini termasuk dalam rangkaian Trilogi Merdeka. Film ini terdaftar sebagai
produksi film termahal yang pernah dibuat dalam sejarah perfilman di Indonesia.
Tak tanggung – tanggung, biaya keseluruhan film termasuk biaya promosi ke luar
negeri mencapai Rp 60 milyar. Namun, biaya tersebut masih relevan bila dilihat
dari hasilnya yang memuaskan. Tampaknya, produksi film ini tidak sembarang
dibuat. Terlihat dari banyaknya pihak profesional yang pernah sukses dalam
berbagai judul termasuk film Hollywood. Yadi Sugandi (penata artistik terbaik
dalam film Laskar Pelangi) dibantu rekan – rekannya dari luar negeri seperti
Adam Howarth (ahli efek khusus dalam film Saving Private Ryan, Black Hawk Down,
dan Harry Potter & The Soccers Stone); Rocky McDonald (sutradara film laga
Mission Impossible II dan The Quite American); serta ahli persenjataan John
Bowring (The Matrix, The Thin Red Line dan X-Men Origins).
Tak hanya
itu, aktor dan aktris muda berbakat ditunjukan dalam film ini. Lukman Sardi
(Amir), Donny Alamsyah (Thomas), Teuku Rifnu Wikana (Dayan), Darius Sinathrya
(Marius), serta Rahayu Saraswati (Senja) berperan penting dalam film yang
dirilis pada tahun 2009 silam. Selain itu, bintang muda seperti Astri Nurdin,
Zumi Zola, Atiqah Hasiholan, Nugie, dan senior Rudi Wowor pun turut berperan
dalam film ini. Demi mendalami peran di film ini mereka diwajibkan mengikuti
pelatihan ala militer selama 10 hari.
Film Merah
Putih mengisahkan tentang kehidupan lima orang pria di Sekolah Tentara Rakyat
(STR) setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah Amir, Marius,
Tomas, Soerono dan Dayan. Tujuan mereka adalah satu, yaitu menjadi pejuang
kemerdekaan, namun adanya perbedaan latar belakang dan agama, membuat mereka
mengalami perpecahan karena konflik – konflik internal. Ketika Jepang sudah
menyerah, Belanda ingin memiliki Indonesia lagi. Belanda melancarkan aksinya
dengan Agresi Militer Belanda I di Jawa Tengah pada 1947.
Dalam
sekuel Darah Garuda, masalah yang terjadi masih seputar konflik pribadi,
sosial, dan agama. Seolah kehilangan misi, empat kadet yang tersisa tidak tahu
tugas apa yang harus dikerjakan. Soerono pasukan induk mereka tewas dalam
pertempuran yang lalu. Tak berhenti disitu, setelah mereka mendapat tugas dari
kantor pusat Jenderal Sudirman. Selain itu, film ini menampilkan sosok kaum
separatis Islam dan sekutu yang berpotensial menjadi pengkhianat. Dalam situasi
yang tertekan, mereka ditawan antara menjadi sekutu atau musuh. Hanya kesatuan
dan kepercayaan yang dapat mereka pertahankan, sebab musuh yang mereka hadapi
tidak hanya dari luar, namun juga dari dalam.
Konflik
batin dialami oleh Amir dalam film Hati
Merdeka. Karena trauma atas kematian salah seorang personil kelompoknya, maka
ia ingin mundur saja. Konflik yang sama dalam film sebelumnya terulang lagi
dalam film ini. Lagi – lagi tiada pemimpin, membuat kelompok tersebut seperti
ayam kehilangan induknya. Tak ada pilihan, Thomas harus menjadi pemimpin dalam
tugas itu. Tersisa Marius, Dayan yang telah bisu, dan Senja satu – satunya
kadet perempuan berdarah biru. Mereka dikirim ke Bali untuk membunuh seorang
kolonel yang ternyata telah membunuh keluarga Thomas. Film ini juga menyelipkan
konflik lain, yakni kisah perebutan cinta Senja antara Thomas dan Marius.
Namun, bumbu pemanis ini tidak digali lebih dalam. Puncak dalam keseluruhan
film ini tentu ada pada adegan peperangan di bagian akhir. Sutradara Yadi
Sugandi dan Conor Allyn memasukan banyak kemampuan mereka di sini.
Trilogi
film yang disutradarai Yadi Sugandi dan Conor Allyn ini merupakan dedikasi yang
diberikan Hashim Djojohadikusumo (produser) kepada kedua leluhurnya yang turut
berperang di peristiwa Lengkong pada
masa itu. Kelebihan dari film ini adalah kemampuan para sineas perfilman
Indonesia yang terlibat dalam pembuatan film ini pantas dikagumi, meski
terdapat nama – nama asing yang terlibat. Terlihat dari efek yang apik dan
penggarapannya yang serius, walaupun mungkin masih sekelas film C dalam deretan
film Hollywood. Film ini juga memberi angin segar dalam perfilman di Indonesia
yang kala itu sedang marak dengan film horor. Sangat disayangkan kekurangan
film ini terdapat dalam penggarapannya yang banyak dikerjakan oleh orang asing.
Padahal para sineas dalam negeri juga memiliki kemampuan yang tak kalah dari orang asing yang terlibat
dalam film ini.
Esensi dari
ketiga film ini adalah perjuangan yang sesungguhnya bukanlah terletak pada
perayaan tahunan dan gambaran yang hiperbola. Yang terjadi sekarang, sulit
untuk kita menyalakan kembali gairah perjuangan kemerdekaan. Semangat suara
Sang Proklamator yang hanya terdengar saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus,
kian hari kian memudar. Ketiga film ini menunjukkan pada kita bahwa
penghormatan kepada para pahlawan terletak pada upaya penyatuan perempuan dan
laki – laki yang berbeda agama, suku,
mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang
keluarga. Film ini merupakan kritik untuk kita. Perang internal karena
perbedaan suku, agama, ras, dan latar belakang masih menjajah kemerdekaan
bangsa ini. Belanda sudah tiada, seharusnya perjuangan dan semangat untuk
melepaskan bangsa dari keterjajahan tidak boleh padam .
Seharusnya
kakak - beradik Senja dan Soerono membenci Indonesia karena negeri ini
membantai keluarganya yang berdarah Belanda. Namun, Senja dan Soerono mampu
melewati konflik pribadi itu dan bergabung dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Soerono bahkan mati di depan pertempuran, sedangkan Senja menjadi
satu - satunya perempuan di antara empat kadet yang menggempur pangkalan udara
Belanda. Thomas si petani, yang berasal dari Sulawesi sering kali bersitegang
dengan Marius yang berasal dari keluarga Jawa berada. Latar belakang keduanya
terlalu keras dan sensitif untuk diajak bekerja sama dalam tim. Namun,
ketegangan itu tidak menyebabkan Thomas memilih berpisah dari Republik untuk
mendirikan negara sendiri. Sementara itu, Marius pada akhirnya maklum bahwa
Indonesia itu bukan Jawa saja. Dayan dari Bali, seorang Hindu. Dayan bisu
selamanya karena penganiayaan dirinya di camp Belanda. Dia tidak banyak bicara,
malah lebih banyak diam dalam melakukan perbuatan. Sementara itu, Amir tampil
sebagai muslim yang saleh, juga sebagai pemimpin yang bijaksana. Amir menembus
batas-batas perbedaan itu dan melihat perbedaan itu sesuai karakter. Rasanya
tepat semboyan yang diusung dalam film ini, “untuk merdeka mereka bersatu”
karena mereka mampu menyatukan perbedaan sebagai sebuah kekuatan yang
membangkitkan dan memerdekakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar